Membicarakan batik tidak sekadar membicarakan secarik kain yang dipakai 
untuk pakaian, seprei, taplak meja atau keperluan rumah tangga lainnya.
Membicarakan
 batik berarti membicarakan budaya bangsa Indonesia. Batik telah menjadi
 bagian aktivitas keseharian manusia Indonesia berabad-abad silam. Batik
 telah dikenal sejak zaman kerajaan Jenggala, Airlangga, Majapahit 
hingga masa kini. Yang sering tidak kita sadari adalah dalam batik dan 
membatik ada budaya positif yang sebenarnya sudah mendarah daging dalam 
masyarakat kita walau budaya positif tersebut seiring dengan 
perkembangan zaman mulai terkikis perlahan.
Budaya-budaya positif
 itu antara lain ketekunan, kemandirian, kewirausahaan, dan 
kreativitas-- yang kalau boleh meminjam bahasa anak muda--tak ada 
matinya. Membatik adalah kegiatan yang harus dilakoni dengan kesungguhan
 dan ketekunan. Untuk menghasilkan selembar batik tulis halus diperlukan
 sikap konsistensi dan kesabaran dengan tingkat kecermatan yang tinggi. 
Ini mengajarkan pada kita budaya tekun dan konsisten dalam mengejar dan 
mewujudkan cita-cita dengan menghasilkan sebuah karya yang paripurna.
Bertolak
 belakang dengan budaya instan yang belakangan sangat mendominasi dalam 
kehidupan masyarakat kita. Bangsa ini sudah hampir melupakan sebuah 
proses. Padahal sebuah proses akan menjadikan kita menjadi lebih bijak 
dalam bersikap dan lebih tahan terhadap tantangan. Ulat saja memerlukan 
proses berhari-hari untuk menjadi kupu-kupu yang indah. Demikian juga 
dengan batik, perlu ketekunan dan kesabaran yang konsisten untuk 
menghasilkan selembar kain indah. Banyak yang menginginkan kesuksesan 
tanpa melalui kegiatan yang bernama proses. Maunya jalan pintas. Tak 
mengherankan apabila segala jalan dilakukan.
Termasuk jalan haram
 demi untuk mengejar hasil sehingga menjadi wajar apabila kasus 
penyalahgunaan wewenang, termasuk korupsi, masih marak di negeri ini. 
Sayangnya sikap pragmatisme dan budaya instan ini juga sudah menjangkiti
 para pembuat kebijakan. Bangsa ini jarang suka bermain panjang dengan 
meletakkan dasar-dasar pembangunan yang memang baru akan dirasakan 
kelak. Misalnya lebih suka memilih mengimpor produk dari luar negeri 
yang memang kadang lebih murah daripada membuat kebijakan yang 
melindungi industri dalam negeri.
Kegiatan membatik juga 
mengajarkan budaya kemandirian. Seperti kita tahu, seluruh bahan yang 
digunakan dalam sebuah proses menghasilkan kain batik berasal dari dalam
 negeri dan bisa dibuat oleh masyarakat sendiri dengan berbagai skala 
industri, mulai rumah tangga hingga pabrikan. Kalaupun ada bahan yang 
diperlukan yang di daerah tersebut tidak ada biasanya didatangkan dari 
kota lain atau dari luar pulau saja. Tidak perlu sampai mengimpor dari 
negara lain.
Sebenarnya secara tidak langsung ini juga 
mengajarkan kepada kita nasionalisme yang sesungguhnya, bukan 
nasionalisme slogan yang terasa kaku, hambar, dan tidak menguntungkan 
rakyat.*** 
Selain mengajarkan sikap nasionalisme, kegiatan 
membatik adalah kegiatan wirausaha yang padat karya dengan melibatkan 
banyak orang. Dulu zaman nenek saya, bahkan sampai zaman almarhum ibu 
saya, membatik adalah salah satu keterampilan yang pasti dikuasai oleh 
kaum wanita. Sampai-sampai ada gurauan, aib kalau wanita tidak bisa 
membatik. Membatik menjadi kegiatan yang jamak dilakukan oleh ibu-ibu 
hampir di setiap rumah tangga. Tentunya kegiatan positif ini mampu 
menunjang perekonomian keluarga.
Bahkan beberapa menjadi backbone
 perekonomian keluarga di sentras-entra batik seperti Solo, Yogyakarta, 
dan Pekalongan. Termasuk dalam keluarga saya sendiri. Kedua orang tua 
saya menjadikan batik sebagai penghidupan. Pembagian tugasnya pun sangat
 jelas, kaum wanita seperti ibu saya mengurusi produksi, sedangkan bapak
 saya mengurusi penjualan. Makanya tak mengherankan apabila zaman saya 
kecil industri rumahan yang berkaitan dengan perbatikan banyak 
bermunculan.
Mulai industri kecil skala rumahan yang memproduksi 
kain, baik sutera maupun katun, pembuat alat tenun, canting hingga 
bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk pembuatan. Masyarakat membuatnya
 sendiri, hampir tidak ada yang diimpor. Ekonomi kerakyatan pada saat 
itu tumbuh. Masyarakat hidup. Ada denyut nadi yang terasa dalam 
kehidupan sehari-hari. Semua bekerja, tidak ada yang menganggur. Namun 
denyut kehidupan itu mulai melamban karena serbuan produk batik dari 
China yang menggunakan mesin, yang masuk pasar Indonesia dengan harga 
lebih murah.
Di sentra-sentra batik seperti kota kelahiran saya, 
Pekalongan, banyak industri pabrikan maupun rumahan yang mati suri. 
Untuk dapat bertahan saja susah. Sepertinya kejadian yang sama 
berlangsung di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Solo, Cirebon, Madura,
 dan kota-kota kecil di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tanpa
 adanya proteksi dan campur tangan dari pemerintah untuk melindungi 
industri batik dalam negeri, sama saja membiarkan budaya wirausaha yang 
ada dalam masyarakat kita hilang, berubah menjadi budaya konsumtif 
dengan menggunakan produk-produk luar negeri.*** 
Boleh saja baru
 sekarang ini kita sibuk membicarakan industri kreatif. Namun sejatinya 
para pendahulu kita para pembatik telah menggeluti usaha yang bernama 
industri kreatif berabad-abad. Lihat saja betapa beragamnya pola batik 
yang mereka hasilkan. Kekreatifan mereka tak perlu diragukan. Anda bisa 
bayangkan, betapa rumitnya membuat pola batik. Semuanya dibuat dengan 
daya imajinasi tinggi tanpa bantuan perangkat elektronik yang bernama 
komputer.
Betapa bertalentanya masyarakat kita. Hebatnya lagi, 
tiap kota penghasil batik rata-rata mampu membuat pola indah yang 
berbeda antara batik yang satu dengan yang lain. Masing-masing mempunyai
 ciri khas dengan warna dominan yang berbeda. Semunya indah memesona. 
Saya tidak tahu persis di mana para pembuat pola-pola batik tersebut 
belajar. Biasanya keterampilan ini turun-temurun. Namun yang jelas pada 
masa itu tidak ada semacam sekolah disain grafis yang mengajarkan 
bagaimana membuat disain visual yang bagus. Kini batik telah diakui 
UNESCO sebagai warisan umat manusia, bagian dari budaya bangsa 
Indonesia.
Kita wajib bersyukur akan hal ini sehingga batik tidak
 semena-mena diklaim oleh negara lain. Walau demikian, ada sisi 
positifnya juga batik diklaim oleh orang lain. Bangsa kita jadi lebih 
bersemangat memperjuangkan hak miliknya yang selama ini dilupakannya 
sampai mati suri.
Kita hanya berharap adanya pengakuan dari dunia
 melalui UNESCO ini juga akan melecut semangat kita dalam menjaga 
warisan budaya bangsa dan nilai filosofi yang terkandung di dalamnya 
seperti budaya tekun, konsisten, mandiri, wirausaha, dan kreatif. Semoga
 budaya-budaya positif ini menjadi jiwa yang menggerakkan etos kerja 
manusia Indonesia yang mampu membawa Indonesia sejajar dengan 
bangsa-bangsa maju di dunia.(*)
Soetrisno Bachir
Pengusaha Batik, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar