Indonesia adalah negara kepulauan
yang paling luas di seluruh dunia. Terletak di Asia
Tenggara dan terdiri atas bermacam-macam pulau, serta
jumlahnya lebih dari dua ratus ribu. Luas tanahnya kira-kira
lima kali ganda daripada Jepang dan penduduknya lebih
dari dua ratus juta orang.
Mengenai teknik celup dan tenun tradisional, kata orang
tekniknya juga mencapai sebanyak jumlah pulau atau suku.
Motifnya atau warnanya berbeda berdasarkan masing-masing
desa. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara terkemuka
dalam bidang celup dan tenun tradisional.
Selain batik yang sangat disenangi oleh orang Jepang
dengan namanya“Jawa Sarasa” , di Indonesia
ada teknik celup dan tenun seperti ikat, simbut, tritik,
pelangi, pentol, dan lain-lain. Diantaranya, batik,
ikat, pelangi, dan tritik (semua itu memang bahasa Indonesia)
sudah menjadi kata-kata internasional. Latar belakang
yang penginternasionalan kata-kata bahasa Indonesia
tersebut berdasarkan hasil usaha peneliti ilmu Antropologi
orang Belanda seperti Rouffaer, Jasper, dan sebagainya.
Sejak akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20,
hal itu mulai diperkenalkan oleh Rouffer di Eropa.
Daerah penghasil batik adalah sekitar Sumatera selatan
(Palembang dan Jambi), Pulau Jawa, Pulau Madura, dan
sebagian Pulau Bali. Di dalam Pulau Jawa, daerah pedalaman
(terletak Yogyakarta dan Surakarta), dan daerah pesisir
yang diwakili Pekalongan dan Cirebon merupakan dua daerah
penghasil batik terbesar.
Tentang sejarah batik, asal usulnya belum terang karena
tidak ada data, literatur, dan benda nyata kain-kain.
Semua itu sudah menjadi busuk sebab iklim Indonesia
adalah iklim tropis yang suhu tinggi dan kelembaban
udara tinggi.
Kemudian, pembatik terpilih kerajinan tangan yang halus
bagi wanita dan perempuan keluarga raja dan bangsawan
kraton. Pembatik makin lama makin menjalar di dalam
kraton. Akan tetapi, orang awam tidak dapat membatik
karena bahan bakunya jarang ada dan terlalu mahal. Pada
akhir abad ke-16 di daerah pesisir, perdagangannya mendapat
kemajuan pesat sekali, sebab itu usaha dagang daerah
itu berkembang. Sehingga sejemlah besar bahan baku batik
(kain putih dan lilin) diimpor dari India, Timor atau
Sumatera, harganya turun secara besar-basaran. Jadi,
orang awam juga bisa membuat batik yang lambang penguasa
para raja dan bangsawan. Kemudian, pada permulaan abad
ke-17, bahan celup bernama“soga” ditemukan,
dan pada akhir abad ke-17, mulai membatik dengan maksud
untuk penjualan dan keuntungan. Setelah itu, di bawah
kekuasaan Belanda dimajukan pembuatannya.
Di dalam situasi itu, raja dan sultan Yogyakarta dan
Surakarta menetapkan motif khusus untuk raja, keluarga
raja, dan bangsawan, yaitu motif larangan. Mereka memakai
batik bermotif larangan dan membedakan batik orang awam.
Waktu tentara Jepang mengadakan pemerintahan militer,
kraton itu menghadapi kesukaran dana secara abnormal,
akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak
larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan
dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.
Sekitar pertengahan abad ke-19, setelah“canting
cap” (biasanya disebut hanya“cap”
saja) direkacipta, jumlah produksinya bertambah. Sebagai
akibat mulai diproduksi batik di pabrik, jumlah pabrik
dan bengkel batik bertambah, sekaligus industri batik
lahir.
Setelah Perang Dunia ?, industri batik mundur karena
kurang bahan bakunya, tetapi membangun kembali di bawah
orde Sukarno yang melontarkan kebijaksanaan“Sandang
Pangan Rakyat” yang memandang batik sebagai pakaian
umum. Pada tahun 1955, GKBI (Gabungan Koperasi Batik
Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1948 di Yogyakarta
mendapat perlindungan seperti tunjangan harga kain putih
dan hak peredaran monopoli. Pemerintah menargetkan menyuplai
batik cap yang murah kepada orang awam. Para pembatik
di berbagai daerah menghasilkan banyak keuntungan di
bawah kebijaksanaannya. Akan tetapi, dari tahun 1956
sampai tahun 1957 bermacam-macam pakaian yang harganya
murah mulai diimpor seiring dengan pengenduran pembatasan
impor, jadi zaman keemasan pengusaha batik sudah selesai.
Kemudian, kesadaran rakyat terhadap pakaian menujukan
perubahan yang pesat di kalangan penduduk kota, anak-anak,
dan pria. Oleh karena itu, orang yang mengenakan pakaian
Barat bertambah lebih lanjut.
Di bawah orde Soeharto, kebijaksanaan kemajuan ekonomis
dijalankan maka kebijaksanaan perlindungan pengusaha
batik dihapuskan. Ironisnya target kebijaksanaan Soekarno
itu, direalisasikan oleh perusahaan pakaian dan tekstil
yang berkembang di lingkungan ekonomi baru. Kemudian,
sebagian besar pengusaha batik yang menjadi biasa pembuatan
batik cap murah terdesak oleh perusahaan tersebut di
atas, terpaksa beralih ke usaha yang lain atau menutup
usaha.
Pada awal tahun 1970-an, teknologi print batik muncul.
Oleh sebab itu, batik tulis dan batik cap semakin tergeser
oleh print batik. Tanpa perlu dikatakan, pasaran batik
tulis dan batik cap kalah bersaing dengan print batik
yang dapat diproduksi massa. Di dalam keadaan itu, khawatir
akan masa depan pembatik dan tradisi batik. Kalau berhadap-hadapan
kain-kain dijual dengan posisi konsumen, apa bedaannya
antara print batik dan batik yang dibuat secara teknik
tradisional? Dasarnya print batik tidak dibuat sebagai
barang yang bermutu tinggi, tetapi dibuat barang yang
bermutu rendah.
Sebaliknya, Iwan Tirta, Josephine Komara, dan sebagainya
membuat“batik generasi baru” yang mempunyai
kemewahan dan rasa kelas tinggi yang misalnya dipakai
benang emas dan perak serta digunakan sutera bukan katun.
Batik yang mereka menjadi populer di kalangan wanita
kota-kota Indonesia dan luar negeri. Pengusaha batik
generasi baru biasanya dinamakan“pencipta tekstil”
atau“kreator tekstil”.
Makin lama makin terang pada awal tahun 1990-an, secara
garis besar permintaan batik terbagi tiga pasaran, yaitu
kelas tinggi, kelas menengah, dan kelas rendah. Di dalam
pasaran tersebut, segi kwantitas pasaran kelas rendah
menduduki perbandingan secara mutlak karena sebagian
besar penduduknya tinggal di desa-desa, kemudian ada
banyak wanita yang riwayat pendidikan dan pendapatan
rendah. Oleh karena itu, pasaran batik kelas rendah
menjadi terbasar. Permintaan batik kelas tinggi masih
kukuh sebab ada adat yang memakai batik tulis bermotif
dan berwarna tradisional waktu berdandan di Jawa.
Hal tersebut di atas terjadi dengan lumrah di dalam
ekonomi modern yang modal raksasa dan teknologi mesin
mendesak industri tradisional kecil-kecilan yang bergantung
pekerjaan tangan.
Batik yang menarik dunia ini tidak hanya batik generasi
baru, batik tulis, dan batik cap saja. Selain itu, jangan
melupakan pakaian, barang kelongtong, dan produksi interior
yang mencetak motif batik seperti bunga, garuda,parang,
dan lain-lain. Barang-barang tersebut sudah menjadi
populer di kalangan baik orang Indonesia maupun orang
asing karena dapat menegaskan kembali identitasnya bagi
orang Indonesia. Untuk orang asing seperti turis, barang-barang
tersebut di atas menjadi kenang-kenangan perjalanannya.
Akhirnya, daya tarik batik bukan tiga pasaran dan barang-barang
bermotif batik berpencar-pencar, melainkan saling merangsang,
meningkatkan nilai keadaannya, dan memainkan harmoni,
yaitu hidup berdampingan dan makmur bersama.
sumber : http://kosgoro.athost.net/index.php
Tidak ada komentar:
Posting Komentar