Rabu, 02 Mei 2012

sejarah batik

Indonesia adalah negara kepulauan yang paling luas di seluruh dunia. Terletak di Asia Tenggara dan terdiri atas bermacam-macam pulau, serta jumlahnya lebih dari dua ratus ribu. Luas tanahnya kira-kira lima kali ganda daripada Jepang dan penduduknya lebih dari dua ratus juta orang.

Mengenai teknik celup dan tenun tradisional, kata orang tekniknya juga mencapai sebanyak jumlah pulau atau suku. Motifnya atau warnanya berbeda berdasarkan masing-masing desa. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara terkemuka dalam bidang celup dan tenun tradisional.

Selain batik yang sangat disenangi oleh orang Jepang dengan namanya“Jawa Sarasa” , di Indonesia ada teknik celup dan tenun seperti ikat, simbut, tritik, pelangi, pentol, dan lain-lain. Diantaranya, batik, ikat, pelangi, dan tritik (semua itu memang bahasa Indonesia) sudah menjadi kata-kata internasional. Latar belakang yang penginternasionalan kata-kata bahasa Indonesia tersebut berdasarkan hasil usaha peneliti ilmu Antropologi orang Belanda seperti Rouffaer, Jasper, dan sebagainya. Sejak akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20, hal itu mulai diperkenalkan oleh Rouffer di Eropa.

Daerah penghasil batik adalah sekitar Sumatera selatan (Palembang dan Jambi), Pulau Jawa, Pulau Madura, dan sebagian Pulau Bali. Di dalam Pulau Jawa, daerah pedalaman (terletak Yogyakarta dan Surakarta), dan daerah pesisir yang diwakili Pekalongan dan Cirebon merupakan dua daerah penghasil batik terbesar.
Tentang sejarah batik, asal usulnya belum terang karena tidak ada data, literatur, dan benda nyata kain-kain. Semua itu sudah menjadi busuk sebab iklim Indonesia adalah iklim tropis yang suhu tinggi dan kelembaban udara tinggi.

Kemudian, pembatik terpilih kerajinan tangan yang halus bagi wanita dan perempuan keluarga raja dan bangsawan kraton. Pembatik makin lama makin menjalar di dalam kraton. Akan tetapi, orang awam tidak dapat membatik karena bahan bakunya jarang ada dan terlalu mahal. Pada akhir abad ke-16 di daerah pesisir, perdagangannya mendapat kemajuan pesat sekali, sebab itu usaha dagang daerah itu berkembang. Sehingga sejemlah besar bahan baku batik (kain putih dan lilin) diimpor dari India, Timor atau Sumatera, harganya turun secara besar-basaran. Jadi, orang awam juga bisa membuat batik yang lambang penguasa para raja dan bangsawan. Kemudian, pada permulaan abad ke-17, bahan celup bernama“soga” ditemukan, dan pada akhir abad ke-17, mulai membatik dengan maksud untuk penjualan dan keuntungan. Setelah itu, di bawah kekuasaan Belanda dimajukan pembuatannya.

Di dalam situasi itu, raja dan sultan Yogyakarta dan Surakarta menetapkan motif khusus untuk raja, keluarga raja, dan bangsawan, yaitu motif larangan. Mereka memakai batik bermotif larangan dan membedakan batik orang awam. Waktu tentara Jepang mengadakan pemerintahan militer, kraton itu menghadapi kesukaran dana secara abnormal, akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.

Sekitar pertengahan abad ke-19, setelah“canting cap” (biasanya disebut hanya“cap” saja) direkacipta, jumlah produksinya bertambah. Sebagai akibat mulai diproduksi batik di pabrik, jumlah pabrik dan bengkel batik bertambah, sekaligus industri batik lahir.

Setelah Perang Dunia ?, industri batik mundur karena kurang bahan bakunya, tetapi membangun kembali di bawah orde Sukarno yang melontarkan kebijaksanaan“Sandang Pangan Rakyat” yang memandang batik sebagai pakaian umum. Pada tahun 1955, GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1948 di Yogyakarta mendapat perlindungan seperti tunjangan harga kain putih dan hak peredaran monopoli. Pemerintah menargetkan menyuplai batik cap yang murah kepada orang awam. Para pembatik di berbagai daerah menghasilkan banyak keuntungan di bawah kebijaksanaannya. Akan tetapi, dari tahun 1956 sampai tahun 1957 bermacam-macam pakaian yang harganya murah mulai diimpor seiring dengan pengenduran pembatasan impor, jadi zaman keemasan pengusaha batik sudah selesai. Kemudian, kesadaran rakyat terhadap pakaian menujukan perubahan yang pesat di kalangan penduduk kota, anak-anak, dan pria. Oleh karena itu, orang yang mengenakan pakaian Barat bertambah lebih lanjut.

Di bawah orde Soeharto, kebijaksanaan kemajuan ekonomis dijalankan maka kebijaksanaan perlindungan pengusaha batik dihapuskan. Ironisnya target kebijaksanaan Soekarno itu, direalisasikan oleh perusahaan pakaian dan tekstil yang berkembang di lingkungan ekonomi baru. Kemudian, sebagian besar pengusaha batik yang menjadi biasa pembuatan batik cap murah terdesak oleh perusahaan tersebut di atas, terpaksa beralih ke usaha yang lain atau menutup usaha.

Pada awal tahun 1970-an, teknologi print batik muncul. Oleh sebab itu, batik tulis dan batik cap semakin tergeser oleh print batik. Tanpa perlu dikatakan, pasaran batik tulis dan batik cap kalah bersaing dengan print batik yang dapat diproduksi massa. Di dalam keadaan itu, khawatir akan masa depan pembatik dan tradisi batik. Kalau berhadap-hadapan kain-kain dijual dengan posisi konsumen, apa bedaannya antara print batik dan batik yang dibuat secara teknik tradisional? Dasarnya print batik tidak dibuat sebagai barang yang bermutu tinggi, tetapi dibuat barang yang bermutu rendah.
Sebaliknya, Iwan Tirta, Josephine Komara, dan sebagainya membuat“batik generasi baru” yang mempunyai kemewahan dan rasa kelas tinggi yang misalnya dipakai benang emas dan perak serta digunakan sutera bukan katun. Batik yang mereka menjadi populer di kalangan wanita kota-kota Indonesia dan luar negeri. Pengusaha batik generasi baru biasanya dinamakan“pencipta tekstil” atau“kreator tekstil”.

Makin lama makin terang pada awal tahun 1990-an, secara garis besar permintaan batik terbagi tiga pasaran, yaitu kelas tinggi, kelas menengah, dan kelas rendah. Di dalam pasaran tersebut, segi kwantitas pasaran kelas rendah menduduki perbandingan secara mutlak karena sebagian besar penduduknya tinggal di desa-desa, kemudian ada banyak wanita yang riwayat pendidikan dan pendapatan rendah. Oleh karena itu, pasaran batik kelas rendah menjadi terbasar. Permintaan batik kelas tinggi masih kukuh sebab ada adat yang memakai batik tulis bermotif dan berwarna tradisional waktu berdandan di Jawa.

Hal tersebut di atas terjadi dengan lumrah di dalam ekonomi modern yang modal raksasa dan teknologi mesin mendesak industri tradisional kecil-kecilan yang bergantung pekerjaan tangan.

Batik yang menarik dunia ini tidak hanya batik generasi baru, batik tulis, dan batik cap saja. Selain itu, jangan melupakan pakaian, barang kelongtong, dan produksi interior yang mencetak motif batik seperti bunga, garuda,parang, dan lain-lain. Barang-barang tersebut sudah menjadi populer di kalangan baik orang Indonesia maupun orang asing karena dapat menegaskan kembali identitasnya bagi orang Indonesia. Untuk orang asing seperti turis, barang-barang tersebut di atas menjadi kenang-kenangan perjalanannya.

Akhirnya, daya tarik batik bukan tiga pasaran dan barang-barang bermotif batik berpencar-pencar, melainkan saling merangsang, meningkatkan nilai keadaannya, dan memainkan harmoni, yaitu hidup berdampingan dan makmur bersama.



sumber       :  http://kosgoro.athost.net/index.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar