Rabu, 02 Mei 2012

Perbedaan Batik Tulis Dan Cap Lilin

Batik Tulis

  1. Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain.
  2. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap.
  3. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus.
  4. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan).
  5. Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya.
  6. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya.
  7. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs.
  8. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.

Batik Cap

  1. Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu.
  2. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis.
  3. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain.
  4. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu.
  5. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal.
  6. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas.
  7. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.
Disamping adanya perbedaan dari sisi visual antara batik tulis dan batik cap, namun dari sisi produksi ada beberapa kesamaan yang harus dilalui dalam pengerjaan keduanya. Diantaranya adalah sbb:
  • Keduanya sama-sama bisa dikatakan kain batik, dikarenakan dikerjakan dengan menggunakan bahan lilin sebagai media perintang warna.
  • Dikerjakan hampir oleh tangan manusia untuk membuat gambar dan proses pengerjaan buka tutup warnanya.
  • Bahan yang digunakannya juga sama berupa bahan dasar kain yang berwarna putih, dan tidak harus dibedakan jenis bahan dasar benangnya (katun atau sutra) atau bentuk tenunannya.
  • Penggunaan bahan-bahan pewarna serta memproses warnanya sama, tidak ada perbedaan anatara batik tulis dan batik cap.
  • Cara menentukan lay-out atau patron dan juga bentuk-bentuk motif boleh sama diantara keduanya. Sehingga ketika keduanya dijahit untuk dibuat busana tidak ada perbedaan bagi perancang busana atau penjahitnya. Yang membedakan hanya kualitas gambarnya saja.
  • Cara merawat kain batik (menyimpan, menyuci dan menggunakannya) sama sekali tidak ada perbedaan.
  • Untuk membuat keduanya diperlukan gambar awal atau sket dasar untuk memudahkan dan mengetahui bentuk motif yang akan terjadi.
Tetapi sekarang dengan perkembangan pasar akan batik dan kreatifitas pembatik munculah teknik membatik yang menggabungkan keduanya.

Bahan popok pembuatan lilin batik

a. Lilin/Malam Tawon
Bahan ini biasanya didapatkan dari Timor dan Palembang. Berwarna kuning suram, sifatnya mudah meleleh dengan titik didih rendah, mudah melekat pada kain, tahan lama dan mudah dilepaskan dari kain dengan menggunakan air panas
b. Gondorukem
Berasal dari getah pinus merkusi, digunakan agar lilin menjadi lebih keras dan tidak menjadi cepat membeku.
c. Damar Mata Kucing
Didapatkan dari pohon Shorea, digunakan agar lilin dapat membentuk bekas atau garis-garis lilin yang baik, melekat pada kain dengan baik
d. Parafin
Bahan ini berwarna putih atau kuning muda, digunakan agar lilin batik memiliki daya tahan tembus basah yang baik dan mudah dilepas dari kain, serta bahannya relatif lebih murah dibanding bahan-bahan yang lain.
e. MicrowaxMerupakan jenis parafin yang lebih halus, digunakan agar lilin lemas (ulet) dan mudah lepas.
f. KendalKendal atau gajih atau lemak binatang disebut juga lemak atau vet. Berwarna putih dan biasanya didapatkan dari daging lembu atau kerbau. Digunakan untuk merendahkan titik didih, melemaskan lilin dan mudah dilepas dari kain.

Lilin Dalam Proses Membatik

Lilin batik/malam digunakan pada pembuatan batik sebagai media penerapan ragam hias desain batik dan berfungsi sebagai bahan perintang warna atau resist agent. Jenis lilin batik bermacam-macam sesuai dengan fungsi dan kegunaannya dilihat dari segi kekuatan dan luas bidang yang akan dirintangi. Macam-macam lilin adalah:

a.         Lilin batik klowong, berfungsi sebagai media penerapan ragam hias/desain batik yang dikerjakan secara ngengreng dan nerusi (bolak-balik pada kedua permukaan kain), yaitu kerangka motif batik terdiri dari ornamen-ornamen pokok dan pengisi serta isen-isennya (motif penghias ornamen pokok dan pengisi seperti cecek,sawut dsb). Lilin klowong mempunyai sifat sebagai berikut:

1)   Mudah encer dan membeku
2)   Dapat membuat garis motif yang tajam
3)   Daya lekatnya cukup tapi mudah lepas atau remuk
4)   Mudah tembus pada kain tapi mudah dilorod
5)   Tidak terlalu tahan terhadap alkali
6)   Mudah lepas dalam rendaman air
7)   Tidak meninggalkan bekas setelah dikerok maupun dilorod

b.         Lilin batik tembokan/popokan, berfungsi menutup bagian motif yang akan tetap putih, menutup dasaran kain agar tetap putih (disebut nembok/mopok), menutup pinggiran pada kain panjang (seret). Lilin tembok mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

1)   Lama mencair dan cepat membeku
2)   Daya lekatnya sangat kuat sehingga tidak mudah lepas/remuk
3)   Mudah meresap pada kain
4)   Tahan terhadap larutan alkali
5)   Tidak mudah lepas dalam rendaman air
6)   Sukar dilorod
7)   Tidak meninggalkan bekas setelah dilorod

c.         Lilin batik tutupan/biron, berfungsi menutup bagian motif yang akan dipertahankan warnanya setelah dicelup atau dicolet, menutupi warna biru wedel/biru tua (mbironi) setelah sebagain lilin dikerok atau dilorod, merining yaitu memberi efek titik-titik/cecek pada bagian kerangka motif/klowongan. Lilin batik tutupan/biron mempunyai sifat:

1)   Mudah mencair dan membeku
2)   Daya lekat cukup
3)   Mudah tembus dalam kain
4)   Tidak tahan dalam larutan alkali
5)   Mudah dilorod
Sifat-sifat lilin batik sesuai jenisnya tersebut sangat tergantung dan dipengaruhi oleh sifat-sifat bahan sebagai unsur campuran pembentuk lilin batik seperti damar mata kucing, gondorukem, parafin, lilin lebah/kote/lilin gombal, lilin mikro, dan lemak binatang atau minyak nabati. Komposisi bahan lilin tersebut disesuaikan menurut fungsinya dan kegunaannya, karenanya unsur bahan lilin batik mempunyai peranan penting untuk mendapatkan spesifikasi lilin serta ikut menentukan kualitas batiknya.

Perlengkapan tambahan

Stik besi:

Untuk menghilangkan tetesan lilin

Scrap:


Untuk membersihkan lilin yang menetes di lantai.

Kenceng:

Untuk tempat melorod kain batik.

Wajan cap (Loyang, serak kasar, serak halus, kain blaco kasar, kain blaco tipis):

Untuk mencairkan lilin batik cap.


Seterika

Untuk menghaluskan kain

Dingklik:


untuk duduk pada waktu membatik tulis ..yaeyalah untuk duduk

Bagian-bagian canting

1. Nyamplung: tempat tampungan cairan malam, terbuat dari tembaga.
2. Cucuk: tergabung dengan nyamplung, adalah tempat keluarnya cairan malam panas saat menulis batik.
3. Gagang: pegangan canting, umumnya terbuat dari bambu atau kayu.

Batik dan Budaya Positif Bangsa

Membicarakan batik tidak sekadar membicarakan secarik kain yang dipakai untuk pakaian, seprei, taplak meja atau keperluan rumah tangga lainnya.

Membicarakan batik berarti membicarakan budaya bangsa Indonesia. Batik telah menjadi bagian aktivitas keseharian manusia Indonesia berabad-abad silam. Batik telah dikenal sejak zaman kerajaan Jenggala, Airlangga, Majapahit hingga masa kini. Yang sering tidak kita sadari adalah dalam batik dan membatik ada budaya positif yang sebenarnya sudah mendarah daging dalam masyarakat kita walau budaya positif tersebut seiring dengan perkembangan zaman mulai terkikis perlahan.

Budaya-budaya positif itu antara lain ketekunan, kemandirian, kewirausahaan, dan kreativitas-- yang kalau boleh meminjam bahasa anak muda--tak ada matinya. Membatik adalah kegiatan yang harus dilakoni dengan kesungguhan dan ketekunan. Untuk menghasilkan selembar batik tulis halus diperlukan sikap konsistensi dan kesabaran dengan tingkat kecermatan yang tinggi. Ini mengajarkan pada kita budaya tekun dan konsisten dalam mengejar dan mewujudkan cita-cita dengan menghasilkan sebuah karya yang paripurna.

Bertolak belakang dengan budaya instan yang belakangan sangat mendominasi dalam kehidupan masyarakat kita. Bangsa ini sudah hampir melupakan sebuah proses. Padahal sebuah proses akan menjadikan kita menjadi lebih bijak dalam bersikap dan lebih tahan terhadap tantangan. Ulat saja memerlukan proses berhari-hari untuk menjadi kupu-kupu yang indah. Demikian juga dengan batik, perlu ketekunan dan kesabaran yang konsisten untuk menghasilkan selembar kain indah. Banyak yang menginginkan kesuksesan tanpa melalui kegiatan yang bernama proses. Maunya jalan pintas. Tak mengherankan apabila segala jalan dilakukan.

Termasuk jalan haram demi untuk mengejar hasil sehingga menjadi wajar apabila kasus penyalahgunaan wewenang, termasuk korupsi, masih marak di negeri ini. Sayangnya sikap pragmatisme dan budaya instan ini juga sudah menjangkiti para pembuat kebijakan. Bangsa ini jarang suka bermain panjang dengan meletakkan dasar-dasar pembangunan yang memang baru akan dirasakan kelak. Misalnya lebih suka memilih mengimpor produk dari luar negeri yang memang kadang lebih murah daripada membuat kebijakan yang melindungi industri dalam negeri.

Kegiatan membatik juga mengajarkan budaya kemandirian. Seperti kita tahu, seluruh bahan yang digunakan dalam sebuah proses menghasilkan kain batik berasal dari dalam negeri dan bisa dibuat oleh masyarakat sendiri dengan berbagai skala industri, mulai rumah tangga hingga pabrikan. Kalaupun ada bahan yang diperlukan yang di daerah tersebut tidak ada biasanya didatangkan dari kota lain atau dari luar pulau saja. Tidak perlu sampai mengimpor dari negara lain.

Sebenarnya secara tidak langsung ini juga mengajarkan kepada kita nasionalisme yang sesungguhnya, bukan nasionalisme slogan yang terasa kaku, hambar, dan tidak menguntungkan rakyat.***

Selain mengajarkan sikap nasionalisme, kegiatan membatik adalah kegiatan wirausaha yang padat karya dengan melibatkan banyak orang. Dulu zaman nenek saya, bahkan sampai zaman almarhum ibu saya, membatik adalah salah satu keterampilan yang pasti dikuasai oleh kaum wanita. Sampai-sampai ada gurauan, aib kalau wanita tidak bisa membatik. Membatik menjadi kegiatan yang jamak dilakukan oleh ibu-ibu hampir di setiap rumah tangga. Tentunya kegiatan positif ini mampu menunjang perekonomian keluarga.

Bahkan beberapa menjadi backbone perekonomian keluarga di sentras-entra batik seperti Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan. Termasuk dalam keluarga saya sendiri. Kedua orang tua saya menjadikan batik sebagai penghidupan. Pembagian tugasnya pun sangat jelas, kaum wanita seperti ibu saya mengurusi produksi, sedangkan bapak saya mengurusi penjualan. Makanya tak mengherankan apabila zaman saya kecil industri rumahan yang berkaitan dengan perbatikan banyak bermunculan.

Mulai industri kecil skala rumahan yang memproduksi kain, baik sutera maupun katun, pembuat alat tenun, canting hingga bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk pembuatan. Masyarakat membuatnya sendiri, hampir tidak ada yang diimpor. Ekonomi kerakyatan pada saat itu tumbuh. Masyarakat hidup. Ada denyut nadi yang terasa dalam kehidupan sehari-hari. Semua bekerja, tidak ada yang menganggur. Namun denyut kehidupan itu mulai melamban karena serbuan produk batik dari China yang menggunakan mesin, yang masuk pasar Indonesia dengan harga lebih murah.

Di sentra-sentra batik seperti kota kelahiran saya, Pekalongan, banyak industri pabrikan maupun rumahan yang mati suri. Untuk dapat bertahan saja susah. Sepertinya kejadian yang sama berlangsung di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Solo, Cirebon, Madura, dan kota-kota kecil di sepanjang pesisir pantai utara Pulau Jawa. Tanpa adanya proteksi dan campur tangan dari pemerintah untuk melindungi industri batik dalam negeri, sama saja membiarkan budaya wirausaha yang ada dalam masyarakat kita hilang, berubah menjadi budaya konsumtif dengan menggunakan produk-produk luar negeri.***

Boleh saja baru sekarang ini kita sibuk membicarakan industri kreatif. Namun sejatinya para pendahulu kita para pembatik telah menggeluti usaha yang bernama industri kreatif berabad-abad. Lihat saja betapa beragamnya pola batik yang mereka hasilkan. Kekreatifan mereka tak perlu diragukan. Anda bisa bayangkan, betapa rumitnya membuat pola batik. Semuanya dibuat dengan daya imajinasi tinggi tanpa bantuan perangkat elektronik yang bernama komputer.

Betapa bertalentanya masyarakat kita. Hebatnya lagi, tiap kota penghasil batik rata-rata mampu membuat pola indah yang berbeda antara batik yang satu dengan yang lain. Masing-masing mempunyai ciri khas dengan warna dominan yang berbeda. Semunya indah memesona. Saya tidak tahu persis di mana para pembuat pola-pola batik tersebut belajar. Biasanya keterampilan ini turun-temurun. Namun yang jelas pada masa itu tidak ada semacam sekolah disain grafis yang mengajarkan bagaimana membuat disain visual yang bagus. Kini batik telah diakui UNESCO sebagai warisan umat manusia, bagian dari budaya bangsa Indonesia.

Kita wajib bersyukur akan hal ini sehingga batik tidak semena-mena diklaim oleh negara lain. Walau demikian, ada sisi positifnya juga batik diklaim oleh orang lain. Bangsa kita jadi lebih bersemangat memperjuangkan hak miliknya yang selama ini dilupakannya sampai mati suri.

Kita hanya berharap adanya pengakuan dari dunia melalui UNESCO ini juga akan melecut semangat kita dalam menjaga warisan budaya bangsa dan nilai filosofi yang terkandung di dalamnya seperti budaya tekun, konsisten, mandiri, wirausaha, dan kreatif. Semoga budaya-budaya positif ini menjadi jiwa yang menggerakkan etos kerja manusia Indonesia yang mampu membawa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia.(*)

Soetrisno Bachir
Pengusaha Batik, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN)


sejarah batik

Indonesia adalah negara kepulauan yang paling luas di seluruh dunia. Terletak di Asia Tenggara dan terdiri atas bermacam-macam pulau, serta jumlahnya lebih dari dua ratus ribu. Luas tanahnya kira-kira lima kali ganda daripada Jepang dan penduduknya lebih dari dua ratus juta orang.

Mengenai teknik celup dan tenun tradisional, kata orang tekniknya juga mencapai sebanyak jumlah pulau atau suku. Motifnya atau warnanya berbeda berdasarkan masing-masing desa. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara terkemuka dalam bidang celup dan tenun tradisional.

Selain batik yang sangat disenangi oleh orang Jepang dengan namanya“Jawa Sarasa” , di Indonesia ada teknik celup dan tenun seperti ikat, simbut, tritik, pelangi, pentol, dan lain-lain. Diantaranya, batik, ikat, pelangi, dan tritik (semua itu memang bahasa Indonesia) sudah menjadi kata-kata internasional. Latar belakang yang penginternasionalan kata-kata bahasa Indonesia tersebut berdasarkan hasil usaha peneliti ilmu Antropologi orang Belanda seperti Rouffaer, Jasper, dan sebagainya. Sejak akhir abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20, hal itu mulai diperkenalkan oleh Rouffer di Eropa.

Daerah penghasil batik adalah sekitar Sumatera selatan (Palembang dan Jambi), Pulau Jawa, Pulau Madura, dan sebagian Pulau Bali. Di dalam Pulau Jawa, daerah pedalaman (terletak Yogyakarta dan Surakarta), dan daerah pesisir yang diwakili Pekalongan dan Cirebon merupakan dua daerah penghasil batik terbesar.
Tentang sejarah batik, asal usulnya belum terang karena tidak ada data, literatur, dan benda nyata kain-kain. Semua itu sudah menjadi busuk sebab iklim Indonesia adalah iklim tropis yang suhu tinggi dan kelembaban udara tinggi.

Kemudian, pembatik terpilih kerajinan tangan yang halus bagi wanita dan perempuan keluarga raja dan bangsawan kraton. Pembatik makin lama makin menjalar di dalam kraton. Akan tetapi, orang awam tidak dapat membatik karena bahan bakunya jarang ada dan terlalu mahal. Pada akhir abad ke-16 di daerah pesisir, perdagangannya mendapat kemajuan pesat sekali, sebab itu usaha dagang daerah itu berkembang. Sehingga sejemlah besar bahan baku batik (kain putih dan lilin) diimpor dari India, Timor atau Sumatera, harganya turun secara besar-basaran. Jadi, orang awam juga bisa membuat batik yang lambang penguasa para raja dan bangsawan. Kemudian, pada permulaan abad ke-17, bahan celup bernama“soga” ditemukan, dan pada akhir abad ke-17, mulai membatik dengan maksud untuk penjualan dan keuntungan. Setelah itu, di bawah kekuasaan Belanda dimajukan pembuatannya.

Di dalam situasi itu, raja dan sultan Yogyakarta dan Surakarta menetapkan motif khusus untuk raja, keluarga raja, dan bangsawan, yaitu motif larangan. Mereka memakai batik bermotif larangan dan membedakan batik orang awam. Waktu tentara Jepang mengadakan pemerintahan militer, kraton itu menghadapi kesukaran dana secara abnormal, akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.

Sekitar pertengahan abad ke-19, setelah“canting cap” (biasanya disebut hanya“cap” saja) direkacipta, jumlah produksinya bertambah. Sebagai akibat mulai diproduksi batik di pabrik, jumlah pabrik dan bengkel batik bertambah, sekaligus industri batik lahir.

Setelah Perang Dunia ?, industri batik mundur karena kurang bahan bakunya, tetapi membangun kembali di bawah orde Sukarno yang melontarkan kebijaksanaan“Sandang Pangan Rakyat” yang memandang batik sebagai pakaian umum. Pada tahun 1955, GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1948 di Yogyakarta mendapat perlindungan seperti tunjangan harga kain putih dan hak peredaran monopoli. Pemerintah menargetkan menyuplai batik cap yang murah kepada orang awam. Para pembatik di berbagai daerah menghasilkan banyak keuntungan di bawah kebijaksanaannya. Akan tetapi, dari tahun 1956 sampai tahun 1957 bermacam-macam pakaian yang harganya murah mulai diimpor seiring dengan pengenduran pembatasan impor, jadi zaman keemasan pengusaha batik sudah selesai. Kemudian, kesadaran rakyat terhadap pakaian menujukan perubahan yang pesat di kalangan penduduk kota, anak-anak, dan pria. Oleh karena itu, orang yang mengenakan pakaian Barat bertambah lebih lanjut.

Di bawah orde Soeharto, kebijaksanaan kemajuan ekonomis dijalankan maka kebijaksanaan perlindungan pengusaha batik dihapuskan. Ironisnya target kebijaksanaan Soekarno itu, direalisasikan oleh perusahaan pakaian dan tekstil yang berkembang di lingkungan ekonomi baru. Kemudian, sebagian besar pengusaha batik yang menjadi biasa pembuatan batik cap murah terdesak oleh perusahaan tersebut di atas, terpaksa beralih ke usaha yang lain atau menutup usaha.

Pada awal tahun 1970-an, teknologi print batik muncul. Oleh sebab itu, batik tulis dan batik cap semakin tergeser oleh print batik. Tanpa perlu dikatakan, pasaran batik tulis dan batik cap kalah bersaing dengan print batik yang dapat diproduksi massa. Di dalam keadaan itu, khawatir akan masa depan pembatik dan tradisi batik. Kalau berhadap-hadapan kain-kain dijual dengan posisi konsumen, apa bedaannya antara print batik dan batik yang dibuat secara teknik tradisional? Dasarnya print batik tidak dibuat sebagai barang yang bermutu tinggi, tetapi dibuat barang yang bermutu rendah.
Sebaliknya, Iwan Tirta, Josephine Komara, dan sebagainya membuat“batik generasi baru” yang mempunyai kemewahan dan rasa kelas tinggi yang misalnya dipakai benang emas dan perak serta digunakan sutera bukan katun. Batik yang mereka menjadi populer di kalangan wanita kota-kota Indonesia dan luar negeri. Pengusaha batik generasi baru biasanya dinamakan“pencipta tekstil” atau“kreator tekstil”.

Makin lama makin terang pada awal tahun 1990-an, secara garis besar permintaan batik terbagi tiga pasaran, yaitu kelas tinggi, kelas menengah, dan kelas rendah. Di dalam pasaran tersebut, segi kwantitas pasaran kelas rendah menduduki perbandingan secara mutlak karena sebagian besar penduduknya tinggal di desa-desa, kemudian ada banyak wanita yang riwayat pendidikan dan pendapatan rendah. Oleh karena itu, pasaran batik kelas rendah menjadi terbasar. Permintaan batik kelas tinggi masih kukuh sebab ada adat yang memakai batik tulis bermotif dan berwarna tradisional waktu berdandan di Jawa.

Hal tersebut di atas terjadi dengan lumrah di dalam ekonomi modern yang modal raksasa dan teknologi mesin mendesak industri tradisional kecil-kecilan yang bergantung pekerjaan tangan.

Batik yang menarik dunia ini tidak hanya batik generasi baru, batik tulis, dan batik cap saja. Selain itu, jangan melupakan pakaian, barang kelongtong, dan produksi interior yang mencetak motif batik seperti bunga, garuda,parang, dan lain-lain. Barang-barang tersebut sudah menjadi populer di kalangan baik orang Indonesia maupun orang asing karena dapat menegaskan kembali identitasnya bagi orang Indonesia. Untuk orang asing seperti turis, barang-barang tersebut di atas menjadi kenang-kenangan perjalanannya.

Akhirnya, daya tarik batik bukan tiga pasaran dan barang-barang bermotif batik berpencar-pencar, melainkan saling merangsang, meningkatkan nilai keadaannya, dan memainkan harmoni, yaitu hidup berdampingan dan makmur bersama.



sumber       :  http://kosgoro.athost.net/index.php